Seni merupakan salah satu dari saluran
islamisasi di Nusantara, stategi dakwah para pendahulu termasuk wali sango
memasukan nilai-nilai islam didalam kesenian lokal diberbagai wilayah di
Nusantara. Nilai-nilai islam masuk kedalam berbagai cabang seni, nilai-nilai
islam masuk kedalam seni suara, nilai-nilai islam masuk kedalam seni
pertunjukan wayang, nilai-nilai islam masuk kedalam seni debus, nilai-nilai islam
masuk kedalam seni arsitektur bangunan, terutama pada bangunan sakral seperti
masjid, maka orang-orang dahulu tidak sembarang membuat bangunan rumah atau
bangunan sakral, bangunan-bangunan tersebut memiliki filosofi dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Penelitian kali ini akan mengupas secara akademis
filosofi dan nilai-nilai islam yang terkandung pada gaya bangunan yang terdapat
di salah satu kampung adat di tanah pasundan yaitu Kampung Naga Tasikmalaya
untuk mengetahui bagaimana filosofi yang ingin disampaikan para perancang
bangunan untuk para cucunya dan nilai-nilai islam yang terdapat pada bangunan
rumah ataupun masjid yang ingin diajarkan melalui seni arsitektur pada bangunan
tersebut
Masyarakat kampung Naga berada di Desa Negrasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Kampung Naga ini adalah kampung khusus ditinggali hanya masyarakat Naga dan merupakan tanah warisan nenek moyang masyarakat Naga yang luas kampungnya kurang lebih 10,5 hektar. Secara tipologi kampung Naga berada dekat daerah berbentuk lembah dan berada sedikit jauh dari keramaian jalan Garut-Tasikmalaya.
Dusun Naga berada di suatu lembah berketinggian rata-rata 500 meter diatas permukaan laut, sehingga bentuknya menyerupai mangkuk besar. Udara sejuk dengan suhu rata-rata 21,5-23 derajat Celcius. Angka curah hujan tiap tahun mencapai 3.468 mm. Disebalah utara berbatas dengan kampung Nantang, Desa/Kecamatan Cigalontang. Sebelah selatan berbatasan denga bukit dan jalan raya Tasikmalaya-Garut, sedangkan disebelah timur di batasi oleh Bukit naga yang sekaligus menjadi batas pemisah kampung Naga dengan kampung Babakan. Jarak tempung dari Kota Tasikmalaya sekitar 30 KM, dari Kota Garut hanya 25 KM atau sekitar 90 KM dari Bandung melalui Garut, sementara kondisi jalan relative baik. (Disbudpar, 2008: 14)
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan pada hari Minggu 11 November 2018 informasi yang disampaikan oleh salah satu tour guide bernama Ijad menjelaskan bahwa disebut kampung Naga bukan berarti ada ular naga ataupun buah naga ini mungkin diperkirakan karena posisi kampung Naga berada di lembah atau dalam bahasa sundanya nagagawir maka disebut kampung Naga. Sebelum tiba dikampung Naga kita terlebih dahulu akan melewati 439 anak tangga dan jarak yang ditempuh dari parkiran ke kampung Naga sekitar 500 meter, beliau menceritakan juga di dalam kampung adat segala sesuatu mengandung filosofi dan makna tertentu yang harus diketahui dan dituruti oleh masyarakat adat maupun oleh pengunjung jika bertamu ke kampung Naga, istilahnya ada segudang larangan di kampung Naga, seperti halnya ada hutang larangan, hutan larangan ini tanpa terkecuali mau masyarakat setempat ataupun pengunjung tidak boleh memasuki dan membawa apapun di hutan larangan, ini bukan ada makluk buas atapun mahluk halus tetapi semata-mata untuk melestarikan alam dan hutan supaya tidak gundul, ada hutan keramat,hutan keramat ini didalamnya ada makam leluhur dan nenek moyang kampung Naga, ada bekas pangsholatan,(dikeramatkan) ini adalah bekas monument kapan didirikan kampung Naga, namun tidak diketahui hari, tanggal dan tahun berdirinya kampung Naga karena pada tahun 1956 kampung Naga pernah di bakar oleh kelompok DI/TII karena tidak mau bergabung dengan kelompok mereka, masyarakat kampung Naga memilih ikut ke Republik Indonesia sampai saat ini, maka oleh kelompok DI/TII siapa yang tidak ikut kepada mereka pasti dibakar, sehingga data-data ataupun dokumen-dokumen penting ikut terbakar, maka sejarah kampung Naga ini bisa di sebut pareumeun obar, namun dengan adanya bekas/ patilasan tempat sholat ini, dikatakan oleh kang Ijad sebagai Tour Guide bahwa dulu nenek moyang kampung Naga sebelum mendirikan perumahan mendirikan dulu tempat sholat dari bebatuan,karena islam masuk ke daerah ini perintah pertamanya adalah mendirikan sholat, ini menunjukan bahwa yang pertama dibangun adalah hubungan kita dengan sang Kholik yaitu Allah SWT (Habluminallah), ada bekas lumbung padi umum, disebut bekas lumbung padi umum dikarenakan masyarakat kampung Naga memiliki mata pencaharian bertani padi dengan padi lokal dengan sistem panen dalam 1 tahun 2 kali panen, dengan sitem irigasi untuk sawah bukan huma, dengan menggunakan pupuk semi organik, mencampurkan pupuk kimia dengan organik seperti kotoran ayam yang telah dicampur dengan lebu (abu kayu bakar), masyarakat setelah panen dengan sukarela menyimpan padi ke lumbung padi umum untuk keperluan umum, misalnya jika ada yang meninggal bisa mengambil dari lumbung padi umum ini. Dalam hal bertani masyarakat kampung Naga belum pernah terjadi gagal panen, karena mereka memiliki tata cara tertentu didalam setiap proses bertani.
Mayarakat kampung Naga dari segi pola hidup
tidak hanya sekedar hidup di alam namun hidup bersama alam, masyarakat kampung
Naga memiliki kesadaran untuk memuliakan alam layaknya manusia atau dalam
istilah islam disebut dengan hablu minal alam. Perlakuan hidup
masyarakat kampung Naga bersama alam ini seimbang jadi belum pernah terjadi
longsor dan banjir, padahal letak geografis kampung Naga berada di lembah dan
dipinggiran sungai Ciwulan besar yang mengalir dari Garut sampai ke Pangandaran,
ini dikarenakan konsep hablum minal alamnya seimbang.
Luas permukiman kampung Naga memiliki kurang
lebih 1,5 hektar, ini dari dulu dari zaman nenek moyang sampai sekarang luasnya
tidak boleh bertambah walaupun satu jengkal. Jadi sebagian masyarakat kampung
Naga harus tinggal diluar kampung Naga yang disebut dengan istilah sanaga.
Sanaga tersebut adalah masih masyarakat kampung Naga namun hanya tinggal diluar
dari perkampungan kampung Naga dan dari segi rumahpun sudah permanen dan sudah
memakai pencahayaan dari listrik, sedangkan masyarakat kampung Naga tidak boleh
merubah bentuk dan warna bangunan, pencahayaanpun harus memakai cempor (lampu
tempel) dari bahan bakar minyak tanah yang telah disubsidi oleh pemerintah bagi
masyarakat kampung Naga. Bahan bangunan pun dari alam semua, serta ukuran rumah
pada masyarakat kampung Naga tergantung lokasi dan kontruksi tanah, jika
kondisi tanah nya datar maka rumahnya akan besar, jumlah bangunan di kampung
Naga ada 112 rumah (rumah warga 109 ditambah 1 masjid dan 1 bale kampung). Pada
masyarakat kampung adat yang berdasarkan budaya tidak pernah ada maling
sehingga kehidupan masyarakat disana tenang bukan hanya sekedar senang.
Didalam bangunan rumah adat dikampung Naga memilki keunikan, yaitu jika siang terasa adem dan jika malam terasa hangat, Posisi bangunan rumah di kampung Naga yaitu berhadap-hadapan fungsinya supaya gampang berkomunikasi antar sesama masyarakat, saling memperhatikan dikala masak atau tidak, maka akan terasa suasana kekeluargaan dan hidup rukun diantara masyarakat kampung Naga, mereka sudah memiliki kesadaran bagaimana bersikap yang baik dengan tetangga.
Karena
gaya bangunan masyarakat kampung Naga adalah rumah panggung dan semua bahannya
dari alam seperti kayu dan bambu, maka musuh dari rumah seperti ini adalah
rayap, oleh karena itu untuk memusnahkan rayap masyarakat kampung Naga
menggunakan ayam yang dikencarkan atau diliarkan dan rayap-rayap ini
akan dimakan oleh ayam
Posisi bangunan memiliki filosofi tersendiri
yaitu mengikuti posisi sekujur badan manusia, ada kepala, badan dan kaki,
begitupun pada bangunan rumah di kampung Naga ada bagian kepala yang bisa
digunakan sebagi gudang, ada bagian badan digunakan untuk ruang tengah, kamar,
dapur dan goah untuk menyimpan padi, pada bagian kaki untuk kolong biasanya
digunakan untuk kandang ayam. Bagian kepala rumah yaitu atapnya mempunyai 2
lapis yaitu dengan injuk dan daun tepus kekuatannya bisa mencapai 15 sampai 40
tahun tidak rusak dan bocor dan anehnya gaya atap seperti ini jika asap dari
dapur maka akan tembus keatas namun jika hujan tidak akan tembus dan bocor, dan
yang kedua kelebihan dari sistem atap menggunakan injuk dan daun tepus ini jika
siang adem dan jika malam akan hangat.
Dalam satu bangunan rumah adat di kampung Naga
memiliki 2 pintu, pintu pertama masuk ke dalam ruangan tengah rumah dan pintu
yang kedua masuk ke ruangan dapur, 2 pintu tersebut pun berbeda, jika pintu
yang masuk ke ruangan tengah rumah itu biasa seperti halnya pintu-pintu rumah
lain, namun pintu untuk masuk ke dapur yang beda dengan yang lain, dibagian
tengah pintu dapur itu dianyam dari bambu yang disebut anyam sasag, fungsinya
sebagai pentilasi udara, namun ada kelebihan didalam pintu dapur dari anyaman
ini yaitu jika siang dari luar ke dalam tidak jelas terlihat sedangkan dari
dalam ke luar jelas kelihatan dan jika malam terbalik dari luar melihat kedalam
kelihatan karena didalam ada sinar dari lampu tempel sedangkan dari dalam ke
luar tidak kelihatan karena diluar tidak ada lampu, ini berfungsi untuk ronda
dalam hal menjaga api, dikhawatirkan lampunya jatuh dan membakar rumah, tidak
hanya itu jika meronda ke dalam rumah akan kelihatan bila mana ada yang sakit,
namun bukan untuk mengintip.
Pada pintu dapur ada beberapa daun yang telah
disusun, ini berfungsi untuk tolak bala karena pada masyarakat kampung Naga
dalam satu tahun sekali ada salametan kampung, diantaranya ada ketupat bersudut
lima memilki arti untuk selalu menjaga sholat yang 5 waktu, ada juga dupi
bersudut 3 bersiloka nista, maja dan utama yaitu bismillah,
Alhamdulillah dan astagpirullah, ada juga jukut palias (palias tuduh timuru)
artinya jangan berprasangka buruk dan daun darandang.
Dalam hal kamar mandi, masyarakat kampung Naga
di dalam rumahnya tidak ada kamar mandi didalam, semuanya di luar, ini
bertujuan untuk tidak bersarang nyamuk sehingga jika tidur di rumah masyarakat
kampung Naga akan tenang karena tidak pernah ada nyamuk, selokan didepan rumah
pun langsung mengalir ke kolam sehingga tidak ada air yang menggenang untuk
bersarangnya nyamuk, jika sudah ke kolam maka bentik-bentik nyamuk yang ada
akan dimakan oleh ikan.
Bangunan di kampung Naga semuanya sama atapun
seragam, ukuran besar dan kecil tergantung posisi tanah, jika tanahnya datar
maka rumah akan sedikit besar, bukan karena mampu atau tidaknya. Bahkan
bangunan yang paling besar adalah masjid karena dari zaman nenek moyang kampung
Naga rumah masyarakat tidak boleh melebihi besar dan megahnya masjid dan yang
kedua yang agak besar adalah bale kampung dan yang terakhir rumah masyarakat
yang tergantung kontruksi dan posisi tanah.
Dalam hal pendidikan atau nyuprih elmu memiliki 3 falsafah yaitu dari luang (pengalaman), daluang (dari kitab/ pesantren) dan uang (pendidikan formal seperti SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi). Masyarakat kampung Naga tidak apa-apa tidak sekolah yang penting nyekolah buat apa pinter tapi kebelinger membodohi orang lain dan menghalalkan segala cara, jadi rata-rata masyarakat dikampung Naga pendidikannya melalui luang yaitu pengalaman, walaupun ada yang bersekolah secara formal yang ikut dengan orang luar.
Bentuk dari bangunan rumah di kampung Naga memiliki kekhasan nya sendiri juga memiliki filosofi yang mengandung pesan-pesan dan nasehat-nasehat bagi kita selaku anak cucuk nenek moyang sunda. Fungsi rumah di kampung Naga tidak hanya untuk berteduh dan beristirahat namun memilki makna pada rumah itu sendiri, rumah dalam bahasa sunda yaitu imah atau bumi artinya ‘dunia’ , dunia adalah tempat hidup mahluk diantaranya manusia, maka rumah bagi masyarakat kampung Naga adalah bagian dari konsep kosmologinya, oleh karena itu mereka menjalin hubungan yang baik antara makrokosmos dan mikrokosmos, artinya menjaga hubungan yang baik anatara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan Tuhan.
Lalu pada salah satu bagian rumah kampung Naga yaitu dinding juga memiliki makna, karena dinding nya terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik maka celah diantara anyaman tersebut mencerminkan sikap gotong royong diantara masyarakat, setidaknya mereka akan tau diantara salah satu masyarakat yang terkena musibah berupa sakit dan lain-lain.
Kesederhanaan bangunan rumah masyarakat kampung Naga ini mencerminkan sikap sederhana mereka dalam hidup. Dibagian depan rumah kampung Naga terdapat teras dengan bahan bambu yang disebut golodog berfungsi untuk tangga dan bersantai sambil membuat anyaman untuk cendramata. Didalam rumah kampung Naga tidak disediakan meja dan kursi, langsung duduk dilantai dengan alas papan atau palupuh yang terbuat dari bambu, rumah adat kampung naga rata-rata berukuran 6 x 8 meter (Elis Suryani, 2011)
Setelah kita mengetahui tentang sejarah kampung Naga, budaya dan filosofi pada bangunan rumah di kampung Naga, disini saya akan mendeskrifsikan analisis saya tentang nilai-nilai islam atau ajaran islam yang terdapat pada bangunan rumah di kampung Naga berdasarkan filosofi atau siloka yang telah di infokan oleh kang Ijad selaku Tour Guide kampung Naga dalam penelitian yang saya lakukan pada November 2018.
Di
atas telah disebutkan bahwa nenek moyang kampung Naga sebelum mendirikan
perkampungan mengumpulkan dulu bebatuan untuk tempat sholat atau masyarakat
kampung Naga biasa menyebutnya dengan istilah patilasan sholat, karena
ketika proses islamisasi perintah pertama nya adalah mendirikan sholat, ini
menurut analisis dan asumsi saya bahwa nenek moyang kampung Naga yang pertama
kali dibangun adalah hubungan kita (mahluk) dengan sang Pencipta Allah SWT
(Kholik),yaitu dengan sholat karena sholat merupakan ibadah mahdhoh, ibadah
yang langsung kepada Allah SWT, dengan sholat kita seakan-akan sedang
berkomunikasi dengan sang Maha Pencipta. Maka analisis saya yang pertama kali
dibangun oleh nenek moyang kampung Naga adalah sikap Hablum Minallah.
Selanjutnya pola perkampungan Naga rumahnya itu saling berhadapan, ini bertujuan untuk sesama masyarakat bisa saling berkomuniskasi dan saling memperhatikan sehingga rasa kekeluargaan diantara masyarakat sangat terasa, didalam islam kita diajarkan bagaimana sikap kita kepada tetangga, jika ada yang sakit kita harus menengoknya, jika ada tetangga yang belum masak karena tidak ada beras misalnya kita jika mampu harus saling berbagi, begitulah ajaran islam yang begitu indah. Seperti itulah suasana yang ada pada masyarakat kampung Naga, mereka sudah memiliki kesadaran yang penuh bagaimana bersikap yang baik dengan tetangga, berbeda dengan perumahan diperkotaan yang cenderung individualis. Maka pada masyarakat kampung Naga bersikap baik antara sesama masyarakat bahkan pengunjungpun dirasakan sangat begitu baik, istilah didalam islam adalah hablumminnas.
Lalu pada filosofi rumah kampung Naga semuanya berasal dari alam, berupa kayu dan bambu, karena masyarakat kampung Naga tidak hanya sekedar hidup di alam namun hidup bersama alam, oleh karena itu mereka menjaga hubungannya dengan alam lingkungan sehingga tidak pernah terjadi longsor dan banjir. Sikap seperti ini adalah ajaran islam yang harus menjaga dan melestarikan lingkungan. Alam adalah anugrah dari Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi, maka harus dimampaatkan dengan baik, tidak boleh diekspoitasi atas kerakusan manusia, karena bencana alam seperti banjir dan longsor adalah ulah sikap tangan manusia sendiri yang tidak cinta akan alam, seperti penebangan liar sehingga hutan gundul, maka akhirnya akan banjir karena sudah tidak ada lagi pohon untuk penyerapan air. Di kampung Naga kesadaran tentang menjaga dan melestarikan lingkungan sudah tidak bisa diajarkan lagi, mereka sudah sangat paham tentang hal itu karena hal tersebut yang menyangkut tentang sikap dengan alam sudah terikat dengan tradisi yang sudah ada sejak lama. Sikap seperti ini dalam islam adalah habuminal alam.
Bentuk rumah kampung Naga adalah bentuk rumah panggung, seperti halnya manusia, pada rumah adat kampung Naga memiliki bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki. Bagian kepala pada rumah adat kampung Naga adalah bagian atas yaitu atap, atap rumah kampung Naga terbuat dari 2 lapis yaitu dari daun tepus dan injuk yang telah disusun, lalu didalam atap bisa digunakan sebagi gudang atau istilahnya para. Lalu ada bagian badan, bagian badan rumah kampung Naga ada 4 ruangan yaitu ruangan tengah, kamar, dapur dan goah plus di depan rumah ada tepas untuk bersantai. Dan yang terakhir ada bagian kaki, dibagian kaki rumah adat kampung Naga berfungsi sebagai tempat kandang ayam, sering masyarakat kampung Naga menaburkan abu bekas kayu bakar di kandang ayam lalu akan bercampur dengan kotoran ayam yang selanjutnya akan dijadikan untuk pupuk pertanian. Lalu apa ajaran islam pada bentuk dan fungsi dari semua bagian rumah kampung Naga? Dari segi bentuk rumah adat kampung Naga termasuk rumah tradisional berbentuk panggung, ini mencerminkan sikap masyarakat kampung Naga yang sederhana dalam hidup. Karena rumah itu ibarat dunia yang akan kita tinggalkan, maka tidak seharusnya kita sibuk akan memikirkan dan memperindah rumah yang akan kita tinggalkan, inilah sejatinya hidup, kesadaran dan sikap sederhana dalam hidup ini dalam istilah islam adalah sikap qonaah yaitu menerima apa adanya, tidak meminta lebih apalagi rakus. Selanjutnya dari fungsi bagian-bagian rumah adat kampung Naga yaitu semua bagian rumah adat dan ruangan memliki fungsi, tidak ada yang tidak bermampaat, tidak ada yang tidak mubazir, semuanya dari alam dan akan kembali kepada alam, nah dalam islam kita diajarkan untuk tidak boleh bersikap mubazir karena keterangan dalam Al-quran sebagai pedoman hidup umat manusia sikap mubazir ini adalah sikap atau kelakuannya setan, jika kita bersikap mubazir maka kita adalah temannya setan. Kesadaran tentang pemampaatan disetiap bagian dan ruangan rumah adat di kampung Naga sudah dilakukan oleh masyarakat kampung Naga sejak dulu dari zaman nenek moyang sampai sekarang, maka tidak ada istilahnya yang terbuang, semuanya bermampaat.
Penelitian ini dilakukan oleh Andri Nurjaman dengan menggunakan Metode Penelitian Sejarah dan menggunakan sistem wawancara (Sejarah Lisan) dengan Bapak Ijad (Masyarakat kampung Naga, Ketua Pemuda Kampung Naga dan Tour Guide)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar