Selasa, 08 Desember 2020

Filologi dan Sejarah

 

A.            Pendahuluan

Istilah filologi berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata Philos dan logos, Philos artinya cinta dan logos artinya kata/ ilmu, jadi secara harfiah filologi adalah cinta pada kata-kata, dan memang filologi adalah sebuah ilmu yang berfokus pada kata-kata atau teks. Kata-kata atau teks tersebut dipertimbangkan, diperbaiki, dibandingkan, dijelaskan asal usulnya, dan sebagainya sehingga jelas bentuk dan artinya.[1]

Penelitian atau kajian filologi ini berfokus pada teks dan naskah. Selain dari pada itu, filologi juga berfungsi untuk menyelidiki kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah, sehingga akan mengetahui latar belakang kebudayaan yang menghasilkan karya sastra tersebut seperti kepercayaan, agama, adat istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa.[2]

Sedangkan sejarah berasal dari istilah bahasa arab, yaitu dari kata syajarah yang artinya pohon, syajarah an-nasab artinya pohon silsilah. Sejarah menurut bahasa Inggris disebut dengan history sedangkan dalam bahasa latin disebut dengan historia.[3] Sejarah adalah ilmu mengenai manusia dalam ruang (peristiwa) dan waktu. Sejarah adalah rekontruksi masa lalu. Sejarah yang sebagai ilmu mempunyai prosedur atau cara kerja penelitian ilmiah yang bersumber pada fakta.

 

B.            Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, maka masalah yang akan diangkat dari penulisan artikel ini adalah sebagai berikut:

1.              Bagaimana hubungan filologi dan sejarah ?

2.              Bagaimana memamfaatkan hasil penelitian filologi kepada sejarah ?

 

C.            Metode

Dalam penulisan artikel ini menggunakan metode deskriptif-analisis menggunakan studi pustaka berupa buku-buku.

D.            Pembahasan

1.              Hubungan Filologi dan Sejarah

Ada dua tokoh sarjana yang mengkaji hubungan antara filologi dan sejarah khususnya sejarah di Nusantara atau Indonesia yaitu Husein Djajadiningrat dan J. L. A Brandes, kedua tokoh tersebut banyak meletakan landasan bagi pengkajian naskah-naskah lama Nusantara dalam penelitian sejarah.

Husen Djajadiningrat adalah seorang sarjana pribumi pertama yang berhasil meneyelsaikan gelar doktor dengan hasil yang baik di Universitas Leiden, dia lahir 08 Desember 1886 di Kramat Waku Banten. Husen Djajadiningrat ini pernah diasuh oleh Scnouck Hurgronje sepeninggalan ayahnya, Husen ini di sekolahkan ke Batavia dan dikuliahkan ke negeri Belanda pada jurusan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden, disertasinya berjudul Cristische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Tinjauan Kritis atas Sadjarah Banten). Pada tulisan yang lain yang berjudul Local Traditions and the Study of Indonesian History (1995). Husen Djajadiningrat menyebutkan pentingnya pengelolaan sastra sejarah dari sudut filologi dan sudut sejarah. Karya sastra sejarah semacam babad tidak bisa dibuang begitu saja sebagai sesuatu yang tidak bernilai sejarah. Dalam karyanya tersebut, dia menggali hubungan antara sejarah dan filologi, atau peran filologi dalam pengkajian sejarah. Hal ini dikarenakan naskah-naskah lama mengandung informasi yang penting mengenai hasil budaya manusia pada masa lalu.

Ada beberapa pemikiran Husein Djajadiningrat mengenai hubungan antara kajian naskah (filologi) dengan sejarah, yaitu[4]:

a.              Karya sejarah sastra, menurut Husein berfungsi membantu mengungkap sejarah itu sendiri. Sebagai contoh nisan Malik al-Saleh hanya berupa prasasti kuburan, nisan ini tidak bisa mengungkapkan keterangan mengenai identitas Malik al-Saleh. Sebagai pelengkap bukti sejarah tersebut perlu diungkap dan dicari dalam naskah-naskah lama melalui kajian filologi terhadap naskah hikayat raja-raja melayu.Hal ini berarti bahwa informasi lebih jauh tentang tokoh Malik al-Saleh dapat dicari melalui tradisi lokal melalui naskah. Dengan demikian untuk keperluan rekontruksi sejarah, naskah lama diperlukan untuk melengkapi fakta sejarah.

b.              Adanya unsur simbolisme dalam memahami sejarah Nusantara. Dalam naskah-naskah Nusantara, sering kali terdapat simbol-simbol tertentu untuk menunjukan peristiwa sejarah. Sebagai contoh adanya kronogram atau condrasengkala runtuhnya kerajaan Majapahit yaitu sirna ilang kertaning bumi. Tulisan yang terdapat Babad Tanah Jawi yang berarti pada tahun 1400 shaka (1478 M) ini oleh para ahli kebudayaan Jawa sering dipandang secara simbolis mengenai runtuhnya kerajaan Majapahit.

c.              Naskah karya sastra sejarah yang ditulis mendekati peristiwa yang terjadi berarti semakin dapat dipercaya. Husein memberikan contoh Babad Dipanegara. Menurut Husein, babad ini sudah dianggap sebagai sumber sejarah karena ditulis oleh Dipanegara sendiri sehingga isinya sangat akurat.

d.              Dalam menggunakan naskah karya sastra sejarah sebagai sumber sejarah dapat dilakukan dengan membandingkan atau membuktikan dengan sumber-sumber lain yang sejaman.

Itulah pemikiran Husein Djajadiningat mengenai hubungan antara filologi dan sejarah. Selanjutnya ada tokoh yang juga membahas mengenai hubungan kedua disiplin ilmu tersebut yaitu J. L. A Brandes. Brandes adalah seorang ahli bahasa dan sastra Nusantara berkebangsaan Belanda, karya beliau yang membahas mengenai hubungan filologi dan sejarah adalah karangannya yang berjudul Iets over een ouderen Dipanegara in verband met een prototype van de voorspellingen van Djajabaja (Sesuatu tentang seorang Dipanegara lama dalam hubungannya dengan sesuatu prototype ramalan Djajabaya). Tulisan Brandes ini mengkaji tentang makna dan fungsi serta harapan mesianis dalam budaya Jawa. Brandes juga membahas karya sastra sejarah jawa yang disebut dengan babad, menurutnya babad tidak bernilai sejarah dan kurang mendapatkan tempat dalam sejarah Jawa. Babad mengandung unsur-unsur sejarah (geneologi) nabi-nabi, pemerintahan dewa-dewa dan raja-raja dari kitab Mahabrata di Jawa serta mitologi atau legenda Melayu-Polinesia. Apabila akan mengkaji babad sebagai sumber sejarah, pertama-tama harus diadakan kajian filologi, jalan terbaik selanjutnya adalah mengeluarkan unsur-unsur yang tidak bernilai sejarah, namun apabila unsur-unsur tersebut dikeluarkan semua, maka sebenarnya tidak ada lagi yang tinggal didalamnya.

Brandes juga mengkaji babad menggunakan kacamata sejarah modern, yaitu sejarah yang harus berdasarkan fakta. Peristiwa yang diceritakan harus benar-benar terjadi atau dapat dibuktikan. Dalam kajiannya tentang struktur babad, Brandes berpendapat bahwa babad merupakan bunga rampai yang tersusun dari cerita-cerita yang berbeda-beda, bahan cerita yang berbeda-beda itu disusun suatu cerita sehingga seperti kain yang tambal sulam, sebagai contoh Brandes menguraikan tentang berdirinya kerajaan Majapahit. Pada suatu sumber diceritakan bahwa pendiri kerjaaan Majapahit berasal dari kerajaan Padjajaran, sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa pendiri kerajaan Majapahit berasal dari raja-raja Tumapel, dengan demikian terdapat dua sumber tradisi cerita, yaitu barat (sunda) dan tradisi timur. Analisis yang digunakan Brandes tersebut didasarkan pada ilmu pengetahuan yang baru saja diterimanya di bangku Universitas tentang sejarah.

Pendapat Brandes tentang babad mengalami perubahan sesudah dia mulai belajar tentang jalan pikiran dan kebudayaan Jawa selama delapan tahun. Ketika mengkaji kitab Pararaton, Bandes mula-mula membayangkan semua karya sejarah Jawa hancur akibat peperangan terus menerus antara kekuatan Hindu dan Islam. Selama masa peperangan itu semua kegiatan penulisan sastra dan sejarah berhenti. Setalah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, kegiatan kebudayaan yang bercorak hindu berhenti. Kemudian timbul tradisi lisan mengenai sejarah masyarakat Jawa. Selanjutnya muncul tradisi tulisan yang mengabadikan tradisi lisan dan unsur-unsur yang datang dari luar. Akhirnya tradisi tulisan dan lisan berkembang secara bersama-sama dan saling mempengaruhi. Dari segi isi terjadi penambahan dan pengurangan yang disesuaikan dengan situasi dan pribadi penceritanya. Akhirnya terbit Babad Tanag Jawi, menurutnya Babad Tanah Jawi adalah babad yang disahkan pada abad ke-17, dan sejak itu semua babad yang lebih tua tidak ditemukan lagi. Berdasarkan analisisnya itu, Brandes berpendapat bahwa mengkaji babad tidak bisa hanya dilihat dari sudut sejarah semata-mata. Babad harus juga dilihat dari sudut sastra atau budaya secara umum. Dalam mengkaji babad harus dipahami dan dipertimbangkan masalah sastra dan kebudayaan Jawa secara keseluruhan.

2.              Mamfaat Hasil Penelitian Filologi kepada Sejarah

Penelitian dalam filologi yang telah dilakukan oleh para akademisi/ para filolog memiliki kontribusi untuk pengembangan studi sejarah, dibuktikan dengan berbagai hasil penelitian tidak berbeda jauh dengan informasi sejarah yang tertuang dalam buku-buku sejarah lokal seperti penelitian filologi mengenai babad Padjajaran dalam bentuk tesis yang dilakukan oleh Amidjaja pada tahun 1996 dengan judul penelitian Babad Padjajaran Sebuah Kajian Filologis dan didukung oleh informasi sejarah yang ada dalam buku sejarah lokal karangan Soedjipto Abimayu yang berjudul Babad Tanah Jawi, Selajutnya ada penelitian yang dilakukan oleh Hazmirullah pada tahun 2016 dan didukung oleh informasi sejarah lokal seperti dalam buku terbitan Perpustakaan Nasional yang berjudul Geger Sepehi: Catatapan Pangeran Mangkudiningrat (2017). Hasil penelitian filologi dapat menginformasikan fakta dan interpretasi sejarah. Hasil kajian Filologi akan sangat kuat argumentasinya karena datanya berupa teks dan naskah yang dikaji dari berbagai sisi pernaskahan serta edisi dan kritik teks.[5]

Dari hasil penelitian filologi tersebut bisa dimamfaatkan sebagai sumber sejarah, penelitian filologi berakhir pada suntingan teks yang dianggap mendekati naskah aslinya, juga telah di transliterasi atau telah dialih bahasa dan alih aksarakan. Naskah yang belum dilakukan penelitian filologi tidak bisa dimamfaatkan untuk pengembangan studi apapun termasuk pada studi sejarah. Maka jelas dari paparan ini hasil penelitian filologi pada berbagai naskah yang memuat peristiwa dimasa lalu bisa dijadikan dan dimamfaatkan untuk pengembangan studi sejarah.

E.             Simpulan

Pemikiran Husein Djajadiningrat mengenai hubungan antara filologi dengan sejarah berfungsi membantu mengungkap sejarah itu sendiri, terdapat unsur simbolisme dalam memahami sejarah Nusantara khususnya, naskah karya sastra sejarah yang ditulis mendekati peristiwa yang terjadi berarti semakin dapat dipercaya dan dalam menggunakan naskah karya sastra sejarah sebagai sumber sejarah dapat dilakukan dengan membandingkan atau membuktikan dengan sumber-sumber lain yang sejaman. Sedangkan menurut J. L. A Brandes apabila akan mengkaji babad atau naskah sebagai sumber sejarah, pertama-tama harus diadakan kajian atau penelitian filologi. Brandes berpendapat bahwa babad merupakan bunga rampai yang tersusun dari cerita-cerita yang berbeda-beda, bahan cerita yang berbeda-beda itu disusun suatu cerita sehingga seperti kain yang tambal sulam. Dia juga berpendapat bahwa mengkaji babad tidak bisa hanya dilihat dari sudut sejarah semata-mata, babad harus juga dilihat dari sudut sastra atau budaya secara umum.

Hasil dari penelitian filologi dapat menginformasikan fakta dan interpretasi sejarah. Hasil kajian Filologi akan sangat kuat argumentasinya karena datanya berupa teks dan naskah yang dikaji dari berbagai sisi pernaskahan serta edisi dan kritik teks. Dari hasil penelitian filologi juga bisa dimamfaatkan sebagai sumber sejarah dan bisa dijadikan dan dimamfaatkan untuk pengembangan studi sejarah.

 

 

Daftar Pustaka

Fitriani, Reli, dkk. “Kontribusi Penelitian Filologi untuk Pengembangan Studi Sejarah”, Bandung: Pascasarjana UNPAD, Jurnal Penelitian Sastra, Vol 11, No 2. (2018)

Kuntowijoyo,  “Pengantar Ilmu Sejarah, Bandung”,  PT Bentang Pustaka. (2004).

Maharsi, dkk. Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, “Filologi dan Sejarah, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.” (2012)

Supriadi, Dedi. "Aplikasi Metode Penelitian Filologi Terhadap Pusaka Pesantren." (2011).

 



[1] Dedi Supriadi, Aplikasi Metode Penelitian Filologi Terhadap Pustaka Pesantren, (Bandung: Pustaka Rahmat, 2011), hlm 3.

[2] Dedi Supriadi, Aplikasi Metode Penelitian Filologi Terhadap Pustaka Pesantren, (Bandung: Pustaka Rahmat, 2011), hlm 4.

[3] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2004), hlm 1.

[4] Maharsi, dkk, Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, Filologi dan Sejarah, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2012), hlm 3-4.

[5] Reli Fitriani, dkk, Kontribusi Penelitian Filologi untuk Pengembangan Studi Sejarah, (Bandung: Pascasarjana UNPAD, 2018), Jurnal Penelitian Sastra, Vol 11, No 2.

Jumat, 16 November 2018

FILOSOFI DAN NILAI-NILAI ISLAM PADA GAYA BANGUNAN RUMAH ADAT DI KAMPUNG NAGA


Seni merupakan salah satu dari saluran islamisasi di Nusantara, stategi dakwah para pendahulu termasuk wali sango memasukan nilai-nilai islam didalam kesenian lokal diberbagai wilayah di Nusantara. Nilai-nilai islam masuk kedalam berbagai cabang seni, nilai-nilai islam masuk kedalam seni suara, nilai-nilai islam masuk kedalam seni pertunjukan wayang, nilai-nilai islam masuk kedalam seni debus, nilai-nilai islam masuk kedalam seni arsitektur bangunan, terutama pada bangunan sakral seperti masjid, maka orang-orang dahulu tidak sembarang membuat bangunan rumah atau bangunan sakral, bangunan-bangunan tersebut memiliki filosofi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Penelitian kali ini akan mengupas secara akademis filosofi dan nilai-nilai islam yang terkandung pada gaya bangunan yang terdapat di salah satu kampung adat di tanah pasundan yaitu Kampung Naga Tasikmalaya untuk mengetahui bagaimana filosofi yang ingin disampaikan para perancang bangunan untuk para cucunya dan nilai-nilai islam yang terdapat pada bangunan rumah ataupun masjid yang ingin diajarkan melalui seni arsitektur pada bangunan tersebut

Masyarakat kampung Naga berada di Desa Negrasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Kampung Naga ini adalah kampung khusus ditinggali hanya masyarakat Naga dan merupakan tanah warisan nenek moyang masyarakat Naga yang luas kampungnya kurang lebih 10,5 hektar. Secara tipologi kampung Naga berada dekat daerah berbentuk lembah dan berada sedikit jauh dari keramaian jalan Garut-Tasikmalaya.

Dusun Naga berada di suatu lembah berketinggian rata-rata 500 meter diatas permukaan laut, sehingga bentuknya menyerupai mangkuk besar. Udara sejuk dengan suhu rata-rata 21,5-23 derajat Celcius. Angka curah hujan tiap tahun mencapai 3.468 mm. Disebalah utara berbatas dengan kampung Nantang, Desa/Kecamatan Cigalontang. Sebelah selatan berbatasan denga  bukit dan jalan raya Tasikmalaya-Garut, sedangkan disebelah timur di batasi oleh Bukit naga yang sekaligus menjadi batas pemisah kampung Naga dengan kampung Babakan. Jarak tempung dari Kota Tasikmalaya sekitar 30 KM, dari Kota Garut hanya 25 KM atau sekitar 90 KM dari Bandung melalui Garut, sementara kondisi jalan relative baik. (Disbudpar, 2008: 14)

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan pada hari Minggu 11 November 2018 informasi yang disampaikan oleh salah satu tour guide bernama Ijad menjelaskan bahwa disebut kampung Naga bukan berarti ada ular naga ataupun buah naga ini mungkin diperkirakan karena posisi kampung Naga berada di lembah atau dalam bahasa sundanya nagagawir maka disebut kampung Naga. Sebelum tiba dikampung Naga kita terlebih dahulu akan melewati 439 anak tangga dan jarak yang ditempuh dari parkiran ke kampung Naga sekitar 500 meter, beliau menceritakan juga di dalam kampung adat segala sesuatu mengandung filosofi dan makna tertentu yang harus diketahui dan dituruti oleh masyarakat adat maupun oleh pengunjung jika bertamu ke kampung Naga, istilahnya ada segudang larangan di kampung Naga, seperti halnya ada hutang larangan, hutan larangan ini tanpa terkecuali mau masyarakat setempat ataupun pengunjung tidak boleh memasuki dan membawa apapun di hutan larangan, ini bukan ada makluk buas atapun mahluk halus tetapi semata-mata untuk melestarikan alam dan hutan supaya tidak gundul,  ada hutan keramat,hutan keramat ini didalamnya ada makam leluhur dan nenek moyang kampung Naga, ada bekas pangsholatan,(dikeramatkan) ini adalah bekas monument kapan didirikan kampung Naga, namun tidak diketahui hari, tanggal dan tahun berdirinya kampung Naga karena pada tahun 1956 kampung Naga pernah di bakar oleh kelompok DI/TII karena tidak mau bergabung dengan kelompok mereka, masyarakat kampung Naga memilih ikut ke Republik Indonesia sampai saat ini, maka oleh kelompok DI/TII siapa yang tidak ikut kepada mereka pasti dibakar, sehingga data-data ataupun dokumen-dokumen penting ikut terbakar, maka sejarah kampung Naga ini bisa di sebut pareumeun obar, namun dengan adanya bekas/ patilasan tempat sholat ini, dikatakan oleh kang Ijad sebagai Tour Guide bahwa dulu nenek moyang kampung Naga sebelum mendirikan perumahan mendirikan dulu tempat sholat dari bebatuan,karena islam masuk ke daerah ini perintah pertamanya adalah mendirikan sholat, ini menunjukan bahwa yang pertama dibangun adalah hubungan kita dengan sang Kholik yaitu Allah SWT (Habluminallah), ada bekas lumbung padi umum, disebut bekas lumbung padi umum dikarenakan masyarakat kampung Naga memiliki mata pencaharian bertani padi dengan padi lokal dengan sistem panen dalam 1 tahun 2 kali panen, dengan sitem irigasi untuk sawah bukan huma, dengan menggunakan pupuk semi organik, mencampurkan pupuk kimia dengan organik seperti kotoran ayam yang telah dicampur dengan lebu (abu kayu bakar), masyarakat setelah panen dengan sukarela menyimpan padi ke lumbung padi umum untuk keperluan umum, misalnya jika ada yang meninggal bisa mengambil dari lumbung padi umum ini. Dalam hal bertani masyarakat kampung Naga belum pernah terjadi gagal panen, karena mereka memiliki tata cara tertentu didalam setiap proses bertani.

Mayarakat kampung Naga dari segi pola hidup tidak hanya sekedar hidup di alam namun hidup bersama alam, masyarakat kampung Naga memiliki kesadaran untuk memuliakan alam layaknya manusia atau dalam istilah islam disebut dengan hablu minal alam. Perlakuan hidup masyarakat kampung Naga bersama alam ini seimbang jadi belum pernah terjadi longsor dan banjir, padahal letak geografis kampung Naga berada di lembah dan dipinggiran sungai Ciwulan besar yang mengalir dari Garut sampai ke Pangandaran, ini dikarenakan konsep hablum minal alamnya seimbang.

Luas permukiman kampung Naga memiliki kurang lebih 1,5 hektar, ini dari dulu dari zaman nenek moyang sampai sekarang luasnya tidak boleh bertambah walaupun satu jengkal. Jadi sebagian masyarakat kampung Naga harus tinggal diluar kampung Naga yang disebut dengan istilah sanaga. Sanaga tersebut adalah masih masyarakat kampung Naga namun hanya tinggal diluar dari perkampungan kampung Naga dan dari segi rumahpun sudah permanen dan sudah memakai pencahayaan dari listrik, sedangkan masyarakat kampung Naga tidak boleh merubah bentuk dan warna bangunan, pencahayaanpun harus memakai cempor (lampu tempel) dari bahan bakar minyak tanah yang telah disubsidi oleh pemerintah bagi masyarakat kampung Naga. Bahan bangunan pun dari alam semua, serta ukuran rumah pada masyarakat kampung Naga tergantung lokasi dan kontruksi tanah, jika kondisi tanah nya datar maka rumahnya akan besar, jumlah bangunan di kampung Naga ada 112 rumah (rumah warga 109 ditambah 1 masjid dan 1 bale kampung). Pada masyarakat kampung adat yang berdasarkan budaya tidak pernah ada maling sehingga kehidupan masyarakat disana tenang bukan hanya sekedar senang.

Didalam bangunan rumah adat dikampung Naga memilki keunikan, yaitu jika siang terasa adem dan jika malam terasa hangat, Posisi bangunan rumah di kampung Naga yaitu berhadap-hadapan fungsinya supaya gampang berkomunikasi antar sesama masyarakat, saling memperhatikan dikala masak atau tidak, maka akan terasa suasana kekeluargaan dan hidup rukun diantara masyarakat kampung Naga, mereka sudah memiliki kesadaran bagaimana bersikap yang baik dengan tetangga.

Karena gaya bangunan masyarakat kampung Naga adalah rumah panggung dan semua bahannya dari alam seperti kayu dan bambu, maka musuh dari rumah seperti ini adalah rayap, oleh karena itu untuk memusnahkan rayap masyarakat kampung Naga menggunakan ayam yang dikencarkan atau diliarkan dan rayap-rayap ini akan dimakan oleh ayam

Posisi bangunan memiliki filosofi tersendiri yaitu mengikuti posisi sekujur badan manusia, ada kepala, badan dan kaki, begitupun pada bangunan rumah di kampung Naga ada bagian kepala yang bisa digunakan sebagi gudang, ada bagian badan digunakan untuk ruang tengah, kamar, dapur dan goah untuk menyimpan padi, pada bagian kaki untuk kolong biasanya digunakan untuk kandang ayam. Bagian kepala rumah yaitu atapnya mempunyai 2 lapis yaitu dengan injuk dan daun tepus kekuatannya bisa mencapai 15 sampai 40 tahun tidak rusak dan bocor dan anehnya gaya atap seperti ini jika asap dari dapur maka akan tembus keatas namun jika hujan tidak akan tembus dan bocor, dan yang kedua kelebihan dari sistem atap menggunakan injuk dan daun tepus ini jika siang adem dan jika malam akan hangat.

Dalam satu bangunan rumah adat di kampung Naga memiliki 2 pintu, pintu pertama masuk ke dalam ruangan tengah rumah dan pintu yang kedua masuk ke ruangan dapur, 2 pintu tersebut pun berbeda, jika pintu yang masuk ke ruangan tengah rumah itu biasa seperti halnya pintu-pintu rumah lain, namun pintu untuk masuk ke dapur yang beda dengan yang lain, dibagian tengah pintu dapur itu dianyam dari bambu yang disebut anyam sasag, fungsinya sebagai pentilasi udara, namun ada kelebihan didalam pintu dapur dari anyaman ini yaitu jika siang dari luar ke dalam tidak jelas terlihat sedangkan dari dalam ke luar jelas kelihatan dan jika malam terbalik dari luar melihat kedalam kelihatan karena didalam ada sinar dari lampu tempel sedangkan dari dalam ke luar tidak kelihatan karena diluar tidak ada lampu, ini berfungsi untuk ronda dalam hal menjaga api, dikhawatirkan lampunya jatuh dan membakar rumah, tidak hanya itu jika meronda ke dalam rumah akan kelihatan bila mana ada yang sakit, namun bukan untuk mengintip.

Pada pintu dapur ada beberapa daun yang telah disusun, ini berfungsi untuk tolak bala karena pada masyarakat kampung Naga dalam satu tahun sekali ada salametan kampung, diantaranya ada ketupat bersudut lima memilki arti untuk selalu menjaga sholat yang 5 waktu, ada juga dupi bersudut 3 bersiloka nista, maja dan utama yaitu bismillah, Alhamdulillah dan astagpirullah, ada juga jukut palias (palias tuduh timuru) artinya jangan berprasangka buruk dan daun darandang.

Dalam hal kamar mandi, masyarakat kampung Naga di dalam rumahnya tidak ada kamar mandi didalam, semuanya di luar, ini bertujuan untuk tidak bersarang nyamuk sehingga jika tidur di rumah masyarakat kampung Naga akan tenang karena tidak pernah ada nyamuk, selokan didepan rumah pun langsung mengalir ke kolam sehingga tidak ada air yang menggenang untuk bersarangnya nyamuk, jika sudah ke kolam maka bentik-bentik nyamuk yang ada akan dimakan oleh ikan.

Bangunan di kampung Naga semuanya sama atapun seragam, ukuran besar dan kecil tergantung posisi tanah, jika tanahnya datar maka rumah akan sedikit besar, bukan karena mampu atau tidaknya. Bahkan bangunan yang paling besar adalah masjid karena dari zaman nenek moyang kampung Naga rumah masyarakat tidak boleh melebihi besar dan megahnya masjid dan yang kedua yang agak besar adalah bale kampung dan yang terakhir rumah masyarakat yang tergantung kontruksi dan posisi tanah.

Dalam hal pendidikan atau nyuprih elmu memiliki 3 falsafah yaitu dari luang (pengalaman), daluang (dari kitab/ pesantren) dan uang (pendidikan formal seperti SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi). Masyarakat kampung Naga tidak apa-apa tidak sekolah yang penting nyekolah buat apa pinter tapi kebelinger membodohi orang lain dan menghalalkan segala cara, jadi rata-rata masyarakat dikampung Naga pendidikannya melalui luang yaitu pengalaman, walaupun ada yang bersekolah secara formal yang ikut dengan orang luar.

Bentuk dari bangunan rumah di kampung Naga memiliki kekhasan nya sendiri juga memiliki filosofi yang mengandung pesan-pesan dan nasehat-nasehat bagi kita selaku anak cucuk nenek moyang sunda. Fungsi rumah di kampung Naga tidak hanya untuk berteduh dan beristirahat namun memilki makna pada rumah itu sendiri, rumah dalam bahasa sunda yaitu imah atau bumi artinya ‘dunia’ , dunia adalah tempat hidup mahluk diantaranya manusia, maka rumah bagi masyarakat kampung Naga adalah bagian dari konsep kosmologinya, oleh karena itu mereka menjalin hubungan yang baik antara makrokosmos dan mikrokosmos, artinya menjaga hubungan yang baik anatara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan Tuhan.

Lalu pada salah satu bagian rumah kampung Naga yaitu dinding juga memiliki makna, karena dinding nya terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik maka celah diantara anyaman tersebut mencerminkan sikap gotong royong diantara masyarakat, setidaknya mereka akan tau diantara salah satu masyarakat yang terkena musibah berupa sakit dan lain-lain.

Kesederhanaan bangunan  rumah masyarakat kampung Naga ini mencerminkan sikap sederhana mereka dalam hidup. Dibagian depan rumah kampung Naga terdapat teras dengan bahan bambu yang disebut golodog berfungsi untuk tangga dan bersantai sambil membuat anyaman untuk cendramata.   Didalam rumah kampung Naga tidak disediakan meja dan kursi, langsung duduk dilantai dengan alas papan atau palupuh yang terbuat dari bambu, rumah adat kampung naga rata-rata berukuran 6 x 8 meter (Elis Suryani, 2011)

Setelah kita mengetahui tentang sejarah kampung Naga, budaya dan filosofi pada bangunan rumah di kampung Naga, disini saya akan mendeskrifsikan analisis saya tentang nilai-nilai islam atau ajaran islam yang terdapat pada bangunan rumah di kampung Naga berdasarkan filosofi atau siloka yang telah di infokan oleh kang Ijad selaku Tour Guide kampung Naga dalam penelitian yang saya lakukan pada November 2018.

Di atas telah disebutkan bahwa nenek moyang kampung Naga sebelum mendirikan perkampungan mengumpulkan dulu bebatuan untuk tempat sholat atau masyarakat kampung Naga biasa menyebutnya dengan istilah patilasan sholat, karena ketika proses islamisasi perintah pertama nya adalah mendirikan sholat, ini menurut analisis dan asumsi saya bahwa nenek moyang kampung Naga yang pertama kali dibangun adalah hubungan kita (mahluk) dengan sang Pencipta Allah SWT (Kholik),yaitu dengan sholat karena sholat merupakan ibadah mahdhoh, ibadah yang langsung kepada Allah SWT, dengan sholat kita seakan-akan sedang berkomunikasi dengan sang Maha Pencipta. Maka analisis saya yang pertama kali dibangun oleh nenek moyang kampung Naga adalah sikap Hablum Minallah.

Selanjutnya pola perkampungan Naga rumahnya itu saling berhadapan, ini bertujuan untuk sesama masyarakat bisa saling berkomuniskasi dan saling memperhatikan sehingga rasa kekeluargaan diantara masyarakat sangat terasa, didalam islam kita diajarkan bagaimana sikap kita kepada tetangga, jika ada yang sakit kita harus menengoknya, jika ada tetangga yang belum masak karena tidak ada beras misalnya kita jika mampu harus saling berbagi, begitulah ajaran islam yang begitu indah. Seperti itulah suasana yang ada pada masyarakat kampung Naga, mereka sudah memiliki kesadaran yang penuh bagaimana bersikap yang baik dengan tetangga, berbeda dengan perumahan diperkotaan yang cenderung individualis. Maka pada masyarakat kampung Naga bersikap baik antara sesama masyarakat bahkan pengunjungpun dirasakan sangat begitu baik, istilah didalam islam adalah hablumminnas.

Lalu pada filosofi rumah kampung Naga semuanya berasal dari alam, berupa kayu dan bambu, karena masyarakat kampung Naga tidak hanya sekedar hidup di alam namun hidup bersama alam, oleh karena itu mereka menjaga hubungannya dengan alam lingkungan sehingga tidak pernah terjadi longsor dan banjir. Sikap seperti ini adalah ajaran islam yang harus menjaga dan melestarikan lingkungan. Alam adalah anugrah dari Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi, maka harus dimampaatkan dengan baik, tidak boleh diekspoitasi atas kerakusan manusia, karena bencana alam seperti banjir dan longsor adalah ulah sikap tangan manusia sendiri yang tidak cinta akan alam, seperti penebangan liar sehingga hutan gundul, maka akhirnya akan banjir karena sudah tidak ada lagi pohon untuk penyerapan air. Di kampung Naga kesadaran tentang menjaga dan melestarikan lingkungan sudah tidak bisa diajarkan lagi, mereka sudah sangat paham tentang hal itu karena hal tersebut yang menyangkut tentang sikap dengan alam sudah terikat dengan tradisi yang sudah ada sejak lama. Sikap seperti ini dalam islam adalah habuminal alam.

Bentuk rumah kampung Naga adalah bentuk rumah panggung, seperti halnya manusia, pada rumah adat kampung Naga memiliki bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki. Bagian kepala pada rumah adat kampung Naga adalah bagian atas yaitu atap, atap rumah kampung Naga terbuat dari 2 lapis yaitu dari daun tepus dan injuk yang telah disusun, lalu didalam atap bisa digunakan sebagi gudang atau istilahnya para. Lalu ada bagian badan, bagian badan rumah kampung Naga ada 4 ruangan yaitu ruangan tengah, kamar, dapur dan goah plus di depan rumah ada tepas untuk bersantai. Dan yang terakhir ada bagian kaki, dibagian kaki rumah adat kampung Naga berfungsi sebagai tempat kandang ayam, sering masyarakat kampung Naga menaburkan abu bekas kayu bakar di kandang ayam lalu akan bercampur dengan kotoran ayam yang selanjutnya akan dijadikan untuk pupuk pertanian. Lalu apa ajaran islam pada bentuk dan fungsi dari semua bagian rumah kampung Naga? Dari segi bentuk rumah adat kampung Naga termasuk rumah tradisional berbentuk panggung, ini mencerminkan sikap masyarakat kampung Naga yang sederhana dalam hidup. Karena rumah itu ibarat dunia yang akan kita tinggalkan, maka tidak seharusnya kita sibuk akan memikirkan  dan memperindah rumah yang akan kita tinggalkan, inilah sejatinya hidup, kesadaran dan sikap sederhana dalam hidup ini dalam istilah islam adalah sikap qonaah yaitu menerima apa adanya, tidak meminta lebih apalagi rakus. Selanjutnya dari fungsi bagian-bagian rumah adat kampung Naga yaitu semua bagian rumah adat dan ruangan memliki fungsi, tidak ada yang tidak bermampaat, tidak ada yang tidak mubazir, semuanya dari alam dan akan kembali kepada alam, nah dalam islam kita diajarkan untuk tidak boleh bersikap mubazir karena keterangan dalam Al-quran sebagai pedoman hidup umat manusia sikap mubazir ini adalah sikap atau kelakuannya setan, jika kita bersikap mubazir maka kita adalah temannya setan. Kesadaran tentang pemampaatan disetiap bagian dan ruangan rumah adat di kampung Naga sudah dilakukan oleh masyarakat kampung Naga sejak dulu dari zaman nenek moyang sampai sekarang, maka tidak ada istilahnya yang terbuang, semuanya bermampaat.

Penelitian ini dilakukan oleh Andri Nurjaman dengan menggunakan Metode Penelitian Sejarah dan menggunakan sistem wawancara (Sejarah Lisan) dengan Bapak Ijad (Masyarakat kampung Naga, Ketua Pemuda Kampung Naga dan Tour Guide)

Selasa, 06 November 2018


SYAIDI SYEKH MAULANA KH. Rd USMAN DHOMIRI RA:
KETUA HIZBULLAH DAN ULAMA TAREKAT,
PERJUANGAN KEMERDEKAAN DAN KEAGAMAAN








Syekh Usman Dhomiri adalah sosok pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia karena beliau sebagai ketua Hizbullah Jawa Barat dan Banten yang mepimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda khususnya di Cimahi. Selain sebagi ketua Hizbullah Syekh Usman juga adalah tokoh keagamaan dan penyebar Tarekat Tijaniyyah, maka sosok Syekh Usman Dhomiri perlu di catat di dalam deretan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. 

Syekh Ustman Dhomiri adalah seorang pejuangan kemerdekaan Indonesia dan penyebar agama islam di Cimahi melalui tarekat Tijaniyah, beliau lahir pada tahun 1870 di Hadratul Maut Yaman, ayah beliau yaitu Rubaya dan ibunya yaitu seorang keturunan Amangkurat dari kerajaan Mataram. Syekh Ustman Dhomiri melanglang atau menjelajah dulu sebelum ke Cimahi, beliau pernah singgah ke Indramayu  lalu berjalan kaki sampai ke Cimahi, di Cimahi tepatnya sekarang di Rt 04 Rw 05 Kelurahan Padasuka Kecamatan Cimahi beliau mendirikan masjid pada tahun 1938 dan dinamakan masjid Baiturahman, dari tahun 1938 sampai tahun 1955 merupakan fase perjuanganna Syekh Ustman Dhomiri melalui masjid Baiturahman tersebut.

Masjid Baiturakhman yang didirikan oleh Syekh Ustman Dhomiri tahun 1938 sudah menjadi maskas perjuangan beliau dengan ulama-ulama yang lain, upaya untuk mengusir penjajah Belanda dari Indonesia khususnya dari Cimahi, maka Syekh Ustman dhomiri membuat tentara Hizbullah, dan Syekh Ustman Dhomirilah yang menjadi komandan Hizbullah Jawa Barat dan Banten. Di ceritakan oleh cucu dari Syekh Ustman dari anak yang pertama yaitu Raden Effendi bahwa banyak santri-santri dari luar yang mau belajar kepada Syekh Ustman dhomiri, namun beliau tidak membuat pesantren, maka di masjid Baiturahmanlah menjadi tempat untuk memusyawarahkan dan membentuk tentara Hizbullah. 

Dari masjid itu juga, Syekh Ustman Dhomiri mengajak masyarakat yang ada di cimahi untuk masuk islam dan menyebarkan  tarekat Tijaniyah, jadi masjid Baiturakhman merupakan saksi bisu sejarah perjuangana Syekh Usman dhomiri dalam proses islamisasi di Cimahi, dan meyebarkan ajaran tarekat tijaniyah yang merupakan tarekat muktabarah di Indonesia.

Perjuangan Syekh Ustman Dhomiri bukan itu saja, beliau memiliki pemikiran yang moderat, oleh karena itu beliau pernah terjun di Syarekat Islam dengan HOS Tjokroaminoto dan berjuang bersama-sama, saking dekatnya dengan Tjokroaminoto, adik Tjokro dinikai oleh Syekh Ustman. 

Perjuangan Syaidi Syekh Maulana Utsman Dhomiri, yang menjadi komandan Hizbullah, dan menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus menjadi pejuang kaagamaan Islam di Indonesia, beliau memimpin 10 santrinya untuk melawan penjajah, kira-kira pukul 10.30 pasukan Hizbullah sudah mendengar informasi bahwa penjajah akan melakukan latihan menembak di gunung Bohong, padahal ini hanyalah siyasat penajajah untuk menipu pasukan Hizbulah, akhirnya pasukan penjajah melakukan penyerangan ke daerah pertahanan Hizbullah di Pasangrahan depan Masjid Baiturakhman, penjajah menyerang secara membabi buta sahingga pimpinan Hizbullah Syekh Ustman Dhomiri memerintahkan untuk melakukan perlawanan kepada penjajah dengan persenjataan seadanya, serangan penjajah ini merupakan serangan balasan, karena sebelumnya pasukan Hizbullah sudah melakukan penyerangan ka tempat penjajah, diantaranya tentara penjajah yang sedang jaga malam mati di bacok oleh tentara Hizbullah. 

Dari pasukan Hizbullah ada 10 orang yang gugur sebagai pejuang atau syuhada, yaitu diantarana bapa Emed dan bapa Toha, setelah bapa toha tertembak kakinya bapa Toha masih bisa membabad tentara penjajah dengan samurainya. Ada 10 nama pejuang Hizbullah yang gugur, nyaitu : 
1.      Bapa Emed dari Gunung Halu 
2.      Bapa Anda dari Cihampelas 
3.      Bapa Toha dari Cisangkan 
4.      Bapa H.Jazaria dari Buah Batu 
5.      Bapa Engko dari Ciawirarang, Cililin 
6.      Bapa Amir dari Ciawirarang, Cililin 
7.      Bapa Uro dari Ciawirarang, Cililin 
8.      Bapa Idjromi dari Ciawirarang, Cililin 
9.      Bapa Sukriya dari Ciawirarang, Cililin 
10.  Bapa Sanusi dari Cilangsari 

Maulana Syekh Utsman Dhomiri merupakan pahlawan kemerdekaan selaku pemimpin Hizbullah Jawa Barat dan banten, beliau juga merupakan penyebar Thoriqoh At-tijaniyah yang meliputi semua kawasan di Indonesia, kedatangan tokoh-tokoh dari luar Cimahi yang mau belajar dan menuntul ilmu toriqoh nyaitu: Maulim Musa dari Bogor, Mualim Sujai dari Bekasi, Mualim Sujatma dari Bogor, Mualim Hasbullah dari Garut, Mualim Badruzaman dari Garut, Mualim Attori dari Ciwidey, Mualim Shidiq dari Bogor, Mualim Yunus dari Bogor, Mualim Adi dari Bogor dan lain-lain. 

Maulana Syekh Usman Dhomiri meninggal dunia pada tahun 1955, dikarenakan selain dari takdir juga karena umur yang sudah sepuh (85 tahun), untuk menghormati dan mengenang perjuangan beliau, pemerintah kota Cimahi menamai jalan Padasuka menjadi jalan KH Ustman Domiri.

Bisa di simpulkan bahwa masjid Baiturakhman yang didirikan oleh Syekh Usman Dhomiri di Cimahi tahun 1938 merupakan masjid tua dan bersejarah di Kota Cimahi, masjid ini pernah menjadi  markas perjuangan Hizbullah untuk melawan tentara Belanda, sebab dulu Cimahi adalah pusat kemiliteran Belanda. Masjid Baiturakhman juga menjadi basis islamisasi serta penyebaran tarekat Tijaniyah di Cimahi, oleh karena itu Syekh Ustman Dhomiri merupakan pahlawan kemerdekaan Indonesia dan pahlawan Keagamaan Indonesia, yang beliau sebagai Komandan Hizbullah dan sebagai Muqadam tarekat Tijaniyah.

Penelitian dilakukan oleh Andri Nurjaman dengan menggunakan sistem wawancara kepada cucu dari KH Usman Addomiri yaitu Bapak Efendi di kediamannya di Cimahi tahun 2017.