Selasa, 08 Desember 2020

Filologi dan Sejarah

 

A.            Pendahuluan

Istilah filologi berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata Philos dan logos, Philos artinya cinta dan logos artinya kata/ ilmu, jadi secara harfiah filologi adalah cinta pada kata-kata, dan memang filologi adalah sebuah ilmu yang berfokus pada kata-kata atau teks. Kata-kata atau teks tersebut dipertimbangkan, diperbaiki, dibandingkan, dijelaskan asal usulnya, dan sebagainya sehingga jelas bentuk dan artinya.[1]

Penelitian atau kajian filologi ini berfokus pada teks dan naskah. Selain dari pada itu, filologi juga berfungsi untuk menyelidiki kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah, sehingga akan mengetahui latar belakang kebudayaan yang menghasilkan karya sastra tersebut seperti kepercayaan, agama, adat istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa.[2]

Sedangkan sejarah berasal dari istilah bahasa arab, yaitu dari kata syajarah yang artinya pohon, syajarah an-nasab artinya pohon silsilah. Sejarah menurut bahasa Inggris disebut dengan history sedangkan dalam bahasa latin disebut dengan historia.[3] Sejarah adalah ilmu mengenai manusia dalam ruang (peristiwa) dan waktu. Sejarah adalah rekontruksi masa lalu. Sejarah yang sebagai ilmu mempunyai prosedur atau cara kerja penelitian ilmiah yang bersumber pada fakta.

 

B.            Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, maka masalah yang akan diangkat dari penulisan artikel ini adalah sebagai berikut:

1.              Bagaimana hubungan filologi dan sejarah ?

2.              Bagaimana memamfaatkan hasil penelitian filologi kepada sejarah ?

 

C.            Metode

Dalam penulisan artikel ini menggunakan metode deskriptif-analisis menggunakan studi pustaka berupa buku-buku.

D.            Pembahasan

1.              Hubungan Filologi dan Sejarah

Ada dua tokoh sarjana yang mengkaji hubungan antara filologi dan sejarah khususnya sejarah di Nusantara atau Indonesia yaitu Husein Djajadiningrat dan J. L. A Brandes, kedua tokoh tersebut banyak meletakan landasan bagi pengkajian naskah-naskah lama Nusantara dalam penelitian sejarah.

Husen Djajadiningrat adalah seorang sarjana pribumi pertama yang berhasil meneyelsaikan gelar doktor dengan hasil yang baik di Universitas Leiden, dia lahir 08 Desember 1886 di Kramat Waku Banten. Husen Djajadiningrat ini pernah diasuh oleh Scnouck Hurgronje sepeninggalan ayahnya, Husen ini di sekolahkan ke Batavia dan dikuliahkan ke negeri Belanda pada jurusan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden, disertasinya berjudul Cristische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Tinjauan Kritis atas Sadjarah Banten). Pada tulisan yang lain yang berjudul Local Traditions and the Study of Indonesian History (1995). Husen Djajadiningrat menyebutkan pentingnya pengelolaan sastra sejarah dari sudut filologi dan sudut sejarah. Karya sastra sejarah semacam babad tidak bisa dibuang begitu saja sebagai sesuatu yang tidak bernilai sejarah. Dalam karyanya tersebut, dia menggali hubungan antara sejarah dan filologi, atau peran filologi dalam pengkajian sejarah. Hal ini dikarenakan naskah-naskah lama mengandung informasi yang penting mengenai hasil budaya manusia pada masa lalu.

Ada beberapa pemikiran Husein Djajadiningrat mengenai hubungan antara kajian naskah (filologi) dengan sejarah, yaitu[4]:

a.              Karya sejarah sastra, menurut Husein berfungsi membantu mengungkap sejarah itu sendiri. Sebagai contoh nisan Malik al-Saleh hanya berupa prasasti kuburan, nisan ini tidak bisa mengungkapkan keterangan mengenai identitas Malik al-Saleh. Sebagai pelengkap bukti sejarah tersebut perlu diungkap dan dicari dalam naskah-naskah lama melalui kajian filologi terhadap naskah hikayat raja-raja melayu.Hal ini berarti bahwa informasi lebih jauh tentang tokoh Malik al-Saleh dapat dicari melalui tradisi lokal melalui naskah. Dengan demikian untuk keperluan rekontruksi sejarah, naskah lama diperlukan untuk melengkapi fakta sejarah.

b.              Adanya unsur simbolisme dalam memahami sejarah Nusantara. Dalam naskah-naskah Nusantara, sering kali terdapat simbol-simbol tertentu untuk menunjukan peristiwa sejarah. Sebagai contoh adanya kronogram atau condrasengkala runtuhnya kerajaan Majapahit yaitu sirna ilang kertaning bumi. Tulisan yang terdapat Babad Tanah Jawi yang berarti pada tahun 1400 shaka (1478 M) ini oleh para ahli kebudayaan Jawa sering dipandang secara simbolis mengenai runtuhnya kerajaan Majapahit.

c.              Naskah karya sastra sejarah yang ditulis mendekati peristiwa yang terjadi berarti semakin dapat dipercaya. Husein memberikan contoh Babad Dipanegara. Menurut Husein, babad ini sudah dianggap sebagai sumber sejarah karena ditulis oleh Dipanegara sendiri sehingga isinya sangat akurat.

d.              Dalam menggunakan naskah karya sastra sejarah sebagai sumber sejarah dapat dilakukan dengan membandingkan atau membuktikan dengan sumber-sumber lain yang sejaman.

Itulah pemikiran Husein Djajadiningat mengenai hubungan antara filologi dan sejarah. Selanjutnya ada tokoh yang juga membahas mengenai hubungan kedua disiplin ilmu tersebut yaitu J. L. A Brandes. Brandes adalah seorang ahli bahasa dan sastra Nusantara berkebangsaan Belanda, karya beliau yang membahas mengenai hubungan filologi dan sejarah adalah karangannya yang berjudul Iets over een ouderen Dipanegara in verband met een prototype van de voorspellingen van Djajabaja (Sesuatu tentang seorang Dipanegara lama dalam hubungannya dengan sesuatu prototype ramalan Djajabaya). Tulisan Brandes ini mengkaji tentang makna dan fungsi serta harapan mesianis dalam budaya Jawa. Brandes juga membahas karya sastra sejarah jawa yang disebut dengan babad, menurutnya babad tidak bernilai sejarah dan kurang mendapatkan tempat dalam sejarah Jawa. Babad mengandung unsur-unsur sejarah (geneologi) nabi-nabi, pemerintahan dewa-dewa dan raja-raja dari kitab Mahabrata di Jawa serta mitologi atau legenda Melayu-Polinesia. Apabila akan mengkaji babad sebagai sumber sejarah, pertama-tama harus diadakan kajian filologi, jalan terbaik selanjutnya adalah mengeluarkan unsur-unsur yang tidak bernilai sejarah, namun apabila unsur-unsur tersebut dikeluarkan semua, maka sebenarnya tidak ada lagi yang tinggal didalamnya.

Brandes juga mengkaji babad menggunakan kacamata sejarah modern, yaitu sejarah yang harus berdasarkan fakta. Peristiwa yang diceritakan harus benar-benar terjadi atau dapat dibuktikan. Dalam kajiannya tentang struktur babad, Brandes berpendapat bahwa babad merupakan bunga rampai yang tersusun dari cerita-cerita yang berbeda-beda, bahan cerita yang berbeda-beda itu disusun suatu cerita sehingga seperti kain yang tambal sulam, sebagai contoh Brandes menguraikan tentang berdirinya kerajaan Majapahit. Pada suatu sumber diceritakan bahwa pendiri kerjaaan Majapahit berasal dari kerajaan Padjajaran, sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa pendiri kerajaan Majapahit berasal dari raja-raja Tumapel, dengan demikian terdapat dua sumber tradisi cerita, yaitu barat (sunda) dan tradisi timur. Analisis yang digunakan Brandes tersebut didasarkan pada ilmu pengetahuan yang baru saja diterimanya di bangku Universitas tentang sejarah.

Pendapat Brandes tentang babad mengalami perubahan sesudah dia mulai belajar tentang jalan pikiran dan kebudayaan Jawa selama delapan tahun. Ketika mengkaji kitab Pararaton, Bandes mula-mula membayangkan semua karya sejarah Jawa hancur akibat peperangan terus menerus antara kekuatan Hindu dan Islam. Selama masa peperangan itu semua kegiatan penulisan sastra dan sejarah berhenti. Setalah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, kegiatan kebudayaan yang bercorak hindu berhenti. Kemudian timbul tradisi lisan mengenai sejarah masyarakat Jawa. Selanjutnya muncul tradisi tulisan yang mengabadikan tradisi lisan dan unsur-unsur yang datang dari luar. Akhirnya tradisi tulisan dan lisan berkembang secara bersama-sama dan saling mempengaruhi. Dari segi isi terjadi penambahan dan pengurangan yang disesuaikan dengan situasi dan pribadi penceritanya. Akhirnya terbit Babad Tanag Jawi, menurutnya Babad Tanah Jawi adalah babad yang disahkan pada abad ke-17, dan sejak itu semua babad yang lebih tua tidak ditemukan lagi. Berdasarkan analisisnya itu, Brandes berpendapat bahwa mengkaji babad tidak bisa hanya dilihat dari sudut sejarah semata-mata. Babad harus juga dilihat dari sudut sastra atau budaya secara umum. Dalam mengkaji babad harus dipahami dan dipertimbangkan masalah sastra dan kebudayaan Jawa secara keseluruhan.

2.              Mamfaat Hasil Penelitian Filologi kepada Sejarah

Penelitian dalam filologi yang telah dilakukan oleh para akademisi/ para filolog memiliki kontribusi untuk pengembangan studi sejarah, dibuktikan dengan berbagai hasil penelitian tidak berbeda jauh dengan informasi sejarah yang tertuang dalam buku-buku sejarah lokal seperti penelitian filologi mengenai babad Padjajaran dalam bentuk tesis yang dilakukan oleh Amidjaja pada tahun 1996 dengan judul penelitian Babad Padjajaran Sebuah Kajian Filologis dan didukung oleh informasi sejarah yang ada dalam buku sejarah lokal karangan Soedjipto Abimayu yang berjudul Babad Tanah Jawi, Selajutnya ada penelitian yang dilakukan oleh Hazmirullah pada tahun 2016 dan didukung oleh informasi sejarah lokal seperti dalam buku terbitan Perpustakaan Nasional yang berjudul Geger Sepehi: Catatapan Pangeran Mangkudiningrat (2017). Hasil penelitian filologi dapat menginformasikan fakta dan interpretasi sejarah. Hasil kajian Filologi akan sangat kuat argumentasinya karena datanya berupa teks dan naskah yang dikaji dari berbagai sisi pernaskahan serta edisi dan kritik teks.[5]

Dari hasil penelitian filologi tersebut bisa dimamfaatkan sebagai sumber sejarah, penelitian filologi berakhir pada suntingan teks yang dianggap mendekati naskah aslinya, juga telah di transliterasi atau telah dialih bahasa dan alih aksarakan. Naskah yang belum dilakukan penelitian filologi tidak bisa dimamfaatkan untuk pengembangan studi apapun termasuk pada studi sejarah. Maka jelas dari paparan ini hasil penelitian filologi pada berbagai naskah yang memuat peristiwa dimasa lalu bisa dijadikan dan dimamfaatkan untuk pengembangan studi sejarah.

E.             Simpulan

Pemikiran Husein Djajadiningrat mengenai hubungan antara filologi dengan sejarah berfungsi membantu mengungkap sejarah itu sendiri, terdapat unsur simbolisme dalam memahami sejarah Nusantara khususnya, naskah karya sastra sejarah yang ditulis mendekati peristiwa yang terjadi berarti semakin dapat dipercaya dan dalam menggunakan naskah karya sastra sejarah sebagai sumber sejarah dapat dilakukan dengan membandingkan atau membuktikan dengan sumber-sumber lain yang sejaman. Sedangkan menurut J. L. A Brandes apabila akan mengkaji babad atau naskah sebagai sumber sejarah, pertama-tama harus diadakan kajian atau penelitian filologi. Brandes berpendapat bahwa babad merupakan bunga rampai yang tersusun dari cerita-cerita yang berbeda-beda, bahan cerita yang berbeda-beda itu disusun suatu cerita sehingga seperti kain yang tambal sulam. Dia juga berpendapat bahwa mengkaji babad tidak bisa hanya dilihat dari sudut sejarah semata-mata, babad harus juga dilihat dari sudut sastra atau budaya secara umum.

Hasil dari penelitian filologi dapat menginformasikan fakta dan interpretasi sejarah. Hasil kajian Filologi akan sangat kuat argumentasinya karena datanya berupa teks dan naskah yang dikaji dari berbagai sisi pernaskahan serta edisi dan kritik teks. Dari hasil penelitian filologi juga bisa dimamfaatkan sebagai sumber sejarah dan bisa dijadikan dan dimamfaatkan untuk pengembangan studi sejarah.

 

 

Daftar Pustaka

Fitriani, Reli, dkk. “Kontribusi Penelitian Filologi untuk Pengembangan Studi Sejarah”, Bandung: Pascasarjana UNPAD, Jurnal Penelitian Sastra, Vol 11, No 2. (2018)

Kuntowijoyo,  “Pengantar Ilmu Sejarah, Bandung”,  PT Bentang Pustaka. (2004).

Maharsi, dkk. Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, “Filologi dan Sejarah, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.” (2012)

Supriadi, Dedi. "Aplikasi Metode Penelitian Filologi Terhadap Pusaka Pesantren." (2011).

 



[1] Dedi Supriadi, Aplikasi Metode Penelitian Filologi Terhadap Pustaka Pesantren, (Bandung: Pustaka Rahmat, 2011), hlm 3.

[2] Dedi Supriadi, Aplikasi Metode Penelitian Filologi Terhadap Pustaka Pesantren, (Bandung: Pustaka Rahmat, 2011), hlm 4.

[3] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2004), hlm 1.

[4] Maharsi, dkk, Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, Filologi dan Sejarah, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2012), hlm 3-4.

[5] Reli Fitriani, dkk, Kontribusi Penelitian Filologi untuk Pengembangan Studi Sejarah, (Bandung: Pascasarjana UNPAD, 2018), Jurnal Penelitian Sastra, Vol 11, No 2.